Saya bercerita sedikit tentang Mifah (Umi Arifah) ini singkatan nama dari diri saya, tapi di sini saya mengambil nama yang sama dengan saya, karena saya ingin menggambarkan sesuatu hal yang pernah saya jumpai di kehidupan sesorang yang itu benar-benar bisa memotivasi saya, sehingga saya tergugah untuk mengunggah di blog saya, supaya saya mengingat terus dan kembali tentang kejadian ini. Jadi, apabila saya suatu hari mengalami hal seperti ini atau menemui orang yang mengalami hal yang sama juga, saya sedikitnya bisa memberikan solusi ataupun sedikit mambantu untuk penyelesiannya.
BIDADARI SURGA ~ MOM
Di suatu
desa, hiduplah seorang putri
cantik dan pekerja keras. Ia tinggal bersama Ibunya yang sudah tua dan
sakit-sakitan. Ayahnya sudah lama meninggal semenjak
ia berusia 1 tahun. Kini ia
harus menjadi tulang punggung keluarga, membiayai sekolahnya dan merawat ibunya yang sakit. Ia sangat
tegar dan sabar menjalani hari-harinya. Ia bernama Mifah berusia 16 tahun. Sekarang Mifah telah menginjak bangku SMA.
Mifah harus sekolah sambil bekerja, karena
jika tidak bagaimana keluarganya akan makan tiap harinya, sedangkan ibunya saja
sakit – sakitan. Suatu hari dalam perjalanannya ke sekolah, tiba – tiba ada
sebuah mobil yang hampir menabraknya. Pengendara mobil itu bernama Pak Rohman.
Ternyata Pak Rohman orangnya baik hati sehingga ia mau bertanggung jawab. Bahkan
ia mau membantu Mifah untuk meringankan beban keluarganya, dengan memberikan
pekerjaan sebagai seorang pelayan toko.
Mifah melanjutkan perjalanannya menuju
sekolah. Sepulang sekolah, ia harus langsung bekerja, supaya ia dan ibunya
dapat makan. Alhamdulillah semenjak Mifah bekerja di toko Pak Rohman, kebutuhan
makan sehari – harinya tercukupi, karena seringkali Mifah dikasih makanan lebih
untuk dibawakan kepada ibunya. Tetapi, entah kenapa Mifah tidak disukai beberapa
pelayan toko di tempat kerjanya itu.
Sore hari, Mifah pulang ke rumahnya dan membawa makanan lebih yang
diberikan Pak Rohman. Ia
sangat senang dan bahagia, walaupun sebagaian rekannya kurang suka kepadanya, namun Pak Rohman sangat baik kepadanya. Di rumah yang sederhana, Mifah menemani ibunya makan dan
menceritakan kebaikan dari seorang pemilik toko tempat ia bekerja. Ibunya mendengarkan dengan penuh kebahagiaan, ibunya meneteskan air
mata karena terharu.
“Bu, Mifah berjanji, suatu
saat nanti Mifah akan mengajak ibu ke Ibukota” Mifah menangis terharu.
“Nggak
apa-apa Fah, kalau belum ada
uangnya, nggak usah dipaksakan”
Kata Ibunya.
“Iya Bu, mudah-mudahan gaji pertama Mifah lumayan untuk menambah uang tabungan Mifah” sambil memeluk ibunya.
Pagi yang
cerah ia berangkat sekolah. Di
sekolahnya, ada gank yang sering mengejek Mifah. Tapi, Mifah tak menghiraukan,
dalam benaknya ia berkata, “Terserah kalian mau bilang apa kepadaku, Insya
Allah dengan ridho – Nya, suatu saat nanti kehidupanku ini akan berubah, karena
hidup itu bergelombang”. Mereka terus mengejek Mifah, tapi Mifah berlalu begitu
saja, seakan tak ada orang di sekitarnya. Sahabat Mifah yang seringkali melihat
perbuatan gank itu merasa terpukul. Tapi, Mifah menenangkan sahabatnya untuk
tetap sabar dan tak usah melayani orang macam mereka. Sahabat Mifah hanya
tersenyum mendengar kata – katanya.
Sepulang sekolah seperti biasa Mifah
langsung menuju tempat kerjanya. Sesampainya di tempat kerja, ia
dikejutkan dengan kedatangan seorang pengunjung yang sudah ia kenal sebelumnya.
Pengunjung itu adalah teman ayahnya
yang benci pada ayah Mifah. Pengunjung itu membenci ayah Mifah dengan alasan dulu ia hampir menghancurkan tempat usaha pengunjung itu. Pengunjung itu mencaci
maki Mifah dan menghina Mifah. “Kamu bukannya anaknya si Pandu ya! ” kata pengunjung
sambil menatap mata Mifah. “Iya Pak”, jawabnya. “Kamu ngapain kerja disini, kamu nggak pantas kerja disini.
Kamu sama saja dengan ayahmu, pengkhianat, pencuri!”
Pengunjung tersebut melontarkan kata kasar kepada Mifah.
Mifah terdiam dan pergi meninggalkan pengunjung tersebut. Ia
mengangis dan tetap berusaha sabar dan tegar.
Pengunjung itu juga mengatakan pada Pak Rohman bahwa Mifah tidak pantas bekerja di tempat itu.
Dengan alasan karena ayah Mifah adalah orang yang pernah menghancurkan
usaha pengunjung tersebut. Pak Rohman tetap mempertahankan Mifah tanpa mendengarkan apa yang dikatakan oleh pengunjung itu. Mifah sangat berterima kasih kepada Pak Rohman. Kebaikan Pak Rohman kepada Mifah membuat Sofia, putri Pak Rohman
bertanya-tanya dan
apa yang sebenarnya telah dilakukan Mifah sehingga ayahnya begitu baik kepadanya.
Niat jahat pun timbul dari hati Sofia, ia merencakan bersama seorang pelayan yang kebetulan juga membenci Mifah.
Baru Seminggu Mifah bekerja di toko itu, ketika Mifah sedang melayani pengunjung toko itu, Sofia
mengambil uang sebesar
tiga ratus ribu dari laci, dan memasukkan ke tas Mifah.
Seolah-olah tidak mengetahui apa yang sedang terjadi, Sofia
berteriak kencang dan dan menuduh bahwa Mifah yang mengambil
uang di laci.
“Yah.. Uang di laci
hilang!” Sofia berpura-pura tidak tahu.
“Apa! Uangnya kemana Sof?!” Pak Rohman terkejut dan langsung menuju ke arah
laci.
“Saya tadi melihat ada yang mencuri uang di laci Yah!” Sofia tertawa dalam hati.
“Tolong
untuk semua pelayan
toko kumpul di ruangan saya!” dengan sangat emosi Pak Rohman menyuruh semua pelayan toko berkumpul
di ruangannya.
Semua karyawan terkejut dan hanya terdiam sambil berjalan
menuju ke ruangan Pak Rohman. Suasana terasa panas,
seakan-akan toko itu berubah menjadi api yang membara. Jantung berdetak
kencang, aliran darah seperti terhenti, tatapan curiga dari mata Pak Rohman seolah-olah berjalan di setiap mata pelayan toko itu.
“Siapa yang mencuri uang di laci!” Pak Rohman berteriak sangat kencang.
Semua karyawan terdiam tanpa kata.
“Yah, Sofia tadi melihat bahwa Mifah yang mengambil uang di laci, ia
memasukkan uang tersebut ke dalam tasnya, coba kita periksa tas Mifah!” Sofia menuduh Mifah dan dengan
kasarnya ia mengambilkan tas Mifah lalu memberikan tas tersebut ke Ayahnya.
Tak ada rasa ketakutan dari hati Mifah,
karena ia tidak merasa mengambil uang dari laci. Namun ketika Pak Rohman membuka tas Mifah dengan sangat
mengejutkan Pak
Rohman melihat ada uang di dalam
tas Mifah yang jumlahnya sama dengan uang yang hilang dari laci. Pak Rohman mengambil uang di dalam tas dan
melemparkan tas ke arah muka Mifah. Mifah tidak bisa berkata apa, ia berusaha untuk menjelaskan
bahwa bukan dia yang mengambil uang tersebut, ia difitnah. Namun tak ada yang
percaya kepadanya termasuk Pak Rohman.
Sofia tersenyum dan berkata dalam hati, “Mampus
kau (tertawa dalam hati), kau memang pantas menerima itu semua.”
“Pak, saya nggak salah, bukan saya yang mengambil uangnya,
ini fitnah.” Mifah berusaha untuk menjelaskan.
“Bapak tidak akan percaya lagi dengan kata-katamu, lebih baik kamu pergi jauh dan meninggalkan tempat ini!” Pak Rohman sangat emosi.
“Tapi Pak, saya benar-benar tidak mencurinya, saya difitnah
Pak. Tolong jangan pecat saya Pak,
saya butuh uang untuk mengajak Ibu saya ke Ibukota, ia ingin sekali melihat kota Jakarta, Pak.” Mifah Menangis.
“Ini uang hasil kerjamu, dan sekali lagi saya ingatkan jangan
pernah datang ke tempat ini lagi!” Pak Rohman melemparkan uang seratus ribu kehadapan Mifah. Dengan hati yang sakit dan deraian air mata, dengan
perlahan tapi pasti ia pulang menuju
rumahnya.
Ia tidak akan melihatkan kesedihannya kepada ibunya, di depan
ibunya ia tetap tersenyum dan berusaha untuk menyembunyikan masalah yang sedang
ia hadapi. Malam itu, bagi Mifah tak seperti malam-malam
sebelumnya. Begitu dingin tak satu bintang pun yang menghiasi langit, tak ada
sinar rembulan yang mampu menghibur hati Mifah. Di bawah pohon yang sudah tua di depan rumahnya, ia
duduk di bangku yang di
bawahnya dikelilingi
rerumputan dan dedaunan yang berguguran. Ia melihat langit dan merasakan pahitnya hari itu, ia tak mampu menahan air mata.
Rambut Mifah terhembus angin malam yang
dingin, ia memejamkan mata dan merasakan dinginnya angin yang seakan-akan
menusuk jantung Mifah. Dalam
hati, Mifah berkata “Tuhan,
aku tak pernah melihat wajah Ayahku, ketika ia tersenyum, ketika ia memanjakan
aku, Aku tak pernah merasakan
pelukan seorang Ayah. Tuhan, kini aku hanya memiliki seorang ibu yang sangat
kusayangi, kumohon padamu Tuhan,
izinkan aku untuk
membahagiakannya, izinkan aku
untuk membuatnya selalu tersenyum, izinkan aku untuk selalu menemani hari-harinya. Tuhan, aku tak
sanggup dan tak mampu bila kehilangan ibu Tuhan,
aku sangat menyayangi ibu.” Dengan perlahan, Mifah membuka matanya.
Mifah masuk ke dalam rumah dan menemani ibunya. Di kasur
yang sudah lapuk dan bantal yang sudah usang, ruangan yang gelap yang hanya di
terangi sebuah lilin. Mifah
duduk di samping ibunya dan menatap
wajah ibunya. Tanpa disadari, ia meneteskan air mata dan memegang tangan
ibunya. Air matanya terjatuh dan mengenai tangan ibunya dan akhirnya ibunya
terbangun dengan wajah penuh dengan kesedihan.
“Fah, kenapa kamu menangis?” dengan suara pelan, ibunya bertanya kepada Mifah.
“Nggak apa – apa kok Bu.” sambil menghapus air matanya.
“Fah, ibu minta maaf ya, karena tidak bisa
membahagiakan Mifah” Ibunya
menangis.
Mifah memeluk ibunya.
Keesokkan
harinya, di depan rumah. Hujan turun begitu deras diiringi dengan suara gemuruh
petir. Terlihat Mifah di depan rumah dengan muka yang pucat dan
kedinginan, wajah dengan penyesalan dan kesedihan yang terpancar dari raut
wajahnya.
Ia memeluk
ibunya dan meminta maaf karena belum bisa mengabulkan permintaan ibunya. Ia
terus menangis dan terus memeluk ibunya.
“Fah, mengapa kamu menangis lagi?” Ibunya heran melihat Putri
menangis terus.
Namun Mifah terus menangis dan terus
memeluk ibunya. Dalam pelukan ibunya,
ia terbayang dengan kejadian disaat dia sudah memenuhi permintaan ibunya yaitu mengajaknya ke Ibukota. Ia dan ibunya berangkat dengan kereta api dan sampai ke Ibokota. Ia mengajak ibunya jalan – jalan dengan uang yang ia miliki sebagai hadiah teristimewa yang belum pernah ibu dapatkan selama hidupnya kini.
ia terbayang dengan kejadian disaat dia sudah memenuhi permintaan ibunya yaitu mengajaknya ke Ibukota. Ia dan ibunya berangkat dengan kereta api dan sampai ke Ibokota. Ia mengajak ibunya jalan – jalan dengan uang yang ia miliki sebagai hadiah teristimewa yang belum pernah ibu dapatkan selama hidupnya kini.
Mifah juga membayangkan dapat membelikan
kain sutra untuk Ibunda tercinta, sebagai hadiah ulang tahun ibunya yang ke-45
tahun. Ketika di
tengah perjalanan menuju rumahnya, hujan turun dan membasahi Mifah, di jembatan yang terbuat dari bambu,
dengan hati-hati Mifah
melewati jembatan itu. Angin dan petir mengiringi derasnya hujan. Jembatan yang
licin membuat Mifah sangat
hati-hati dalam melangkahkan kakinya. Tiba-tiba Mifah terpeleset dan memegang bambu yang ada disampingnya. Kain sutra yang dipegangnya jatuh dan
hanyut di sungai itu.
Ia berteriak dan menangis melihat kain sutranya sudah terhanyut di
sungai kecil. Sangat merasa kehilangan dan merasa bersalah, ia mengikuti arah
aliran sungai, dengan hati-hati
ia berjalan di tepi sungai yang penuh dengan bebatuan dan rerumputan yang
bergoyang karena arus ombak sungai yang begitu deras. Langkahnya terhenti
sejenak, terasa ada yang menempel di kakinya. Jantungnya berdetak kencang,
pandangan matanya ke arah kakinya
yang ditutupi air sungai yang keruh. Ia terkejut melihat seekor ular yang
ada di dekat kakinya. Ia
melompat dan berteriak kesakitan. Ia memegang kaki kanannya, di atas mata kakinya ia melihat ada bekas
gigitan ular.
Mukanya
pucat, bibirnya hitam kebiru-biruan. Dalam hati ia berkata “Ya Tuhan, sebelum
kau ambil nyawaku, izinkan
aku bertemu terakhir kali dengan ibuku dan meminta
maaf karena aku tak bisa membawakan kain sutra untuk hadiah ulang
tahunnya. Di tengah jalan ini, berilah aku kekuatan agar aku bisa menuju
rumahku dan bertemu dengan ibuku.”
Sesampainya di rumah ia menangis
dan langsung memeluk ibunya. Ia berkata “Maafkan
aku ibu…maafkan aku ibu” dalam pelukan hangat ibunya, Mifah memeluk erat ibunya seakan-akan tidak
mau berpisah dengan ibunya.
Ia
membayangkan raut wajah seorang ayah yang tersenyum kepadanya. Ia mengingat
perjuangan mencari pekerjaan untuk mengabulkan permintaan ibunya, ketika ia ditolak dan dicaci maki, ketika ia
difitnah dan diusir dari tempat kerjanya, ketika kain sutra yang sudah dipegangnya terlepas
dari tangannya. Suasana hening, suara tangisan tak terdengar lagi, air mata
telah berhenti. Beberapa menit kemudian, Mifah masih memeluk ibunya dan terus memeluk ibunya. Hingga tak
terdengar suara tangisan Mifah.
Ibunya dengan perlahan melepas pelukan Mifah, dan tiba-tiba Mifah
terjatuh dipangkuan ibunya. Ibunya melihat ada bekas gigitan dikaki Mifah, Ibu Mifah panik dan ketakutan melihat kaki
anaknya sudah membengkak dan hitam kebiru-biruan. Ibu Mifah membangunkan Mifah dan ternyata anaknya telah memenuhi panggilan Sang Khaliq.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar